Tumbuh Surut dan Tumbuh Lagi: Ateisme di Indonesia
Indonesia dikenal dengan stereotipe bangsa yang beragama, bahkan sila pertama berbunyi “Ketuhanan yang maha esa.” Namun, datangnya modernisme, yang juga melahirkan nusantara sebagai bangsa Indonesia, memunculkan ateisme. Dengan sejarah ateisme yang sulit diketahui di masa pra-kolonial, tampaknya ateisme di Indonesia muncul pada era modern dengan datangnya paham komunisme yang surut pada abad 65-66 hingga reformasi 98- kesurutan itu juga berarti kesurutan ateisme – dan muncul kembali bergandengan tangan dengan kebebasan yang didapat pasca reformasi.
Sejak masuknya komunisme di Indonesia melalui ISDV (Perhimpunan Sosialis Demokrat Hindia Belanda), ateis mulai disebut-sebut. Sosok seperti Haji Mesbach yang mencoba mendamaikan islam dengan komunis yang ateistis mengundang kontroversi karena dianggap tidak berhasil. Mesbach menganggap komunis itu sesuai dengan Islam karena memperjuangkan keadilan. Dari lawan-lawanya, orang-orang seperti Mesbach diolok-olok bahkan belum membaca tuntas Das Kapital yang di dalamnya disebut bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. K. Mihardja menulis fenomena orang-orang ateis ini dalam bukunya berjudul Atheis, terbit tahun 1943. Dalam novel tersebut dikisahkan orang-orang ateis yang berada dalam perkumpulan marxis. Orang-orang tersebut tidak percaya Tuhan dan memahami dunia secara materialistis. Walaupun tidak terang-terangan mendukung ateis, karena pada akhirnya sang tokoh utama setelah menjadi ateis kembali percaya Tuhan tapi dengan cara yang lebih baru (cenderung mirip agama alam), paling tidak buku ini mencoba menggambarkan ateis tanpa member corengan hitam pada ateis.
Saat era Soekarno, kampanye anti-ateis muncul bebarengan dengan kampanye anti-komunis dari lawan-lawan PKI. Seperti saat komunisme pertama datang ke nusantara, tetap ada kaum kiri di sini yang tetap mempertahankan keatesiannya dan ada yang mencoba menyandingkan komunis dan agama seperti tercermin dalam karya sastra saat itu. Dalam cerpen Komunis Pertama, diceritakan sebuah keluarga muslim yang seorang anaknya, Ismet, memilih menjadi komunis. Sang ibu berkata pada anaknya, “Komunis pun kau , Ismet, jangan tinggalkan sembahyangmu” (Sambodja, 2010:154). Dalam sikap PKI menyangkut doktrin sosialis yang cenderung ateis, John Rossa mencatat bahwa, “PKI tidak terlalu berbeda dari partai-partai komunis pascakolonial lainnya yang mendahulukan nasionalisme di atas sosialisme.” (Rossa, 2008:235). Akan tetapi, tampaknya ada juga kecenderungan melawan agama dalam sikap sebagian kaum kiri. karya yang dengan tegas menantang Tuhan, seperti sandiwara Pepatening Gusti Allah yang menganggap gusti dengan tuan tanah dan maka perlu dilawan demi pembebasan dipentaskan. Aidit memasukan amil zakat – orang yg bertugas mengumpulkan, membagikan zakat, dan berhak mendapat bagian dr zakat it- ke dalam kelompok tujuh setan desa.
Pergesekan antara PKI dengan Islam yang memuncak saat gesekan yang lebih diakibatkan dari faktor penerapan UU Pokok Agraria no. 5 tahun 1960, menguatkan stereotipe buruk komunis (yang diidentikan dengan ateis) oleh golongan Islam pendukung tuan tanah. UU Pokok Agraria tersebut membatasi kepemilikan lahan hingga maksimal 2 hektar yang secara otomatis mengambil kelebihan tanah milik para tuan tanah, yang kebanyakan merupakan pemuka agama islam (dengan berlindung di partai Nahdatur Ulama, Militer (terutama AD yang memusuhi PKI atas dukungan Amrik[v]) untuk membagikannya pada petani tak bertanah secara cuma-cuma. Para tuan tanah menolak menyerahkan kelebihan tanah yang selama ini selalu memberikan penghasilan tambahan pada mereka lewat keringat petani-petani penggarap walaupun akan mendapat ganti rugi dari pemerintah. Penyelewengan pelaksanaan UU Agraria tersebut[vi] membangkitkan gejolak para petani tak bertanah, yang diorganisir oleh BTI, untuk melakukan aksi sepihak, bergejolak dan menyerukan untuk merebut secara paksa. Gesekan tersebut menjadi konflik yang semakin keras terutama di daerah Jawa Timur dan Jawa tengah tempat para tuan tanah sebagian besar merupakan pemuka agama Islam. Peter Edman menulis bahwa pada “bulan Februari dan Maret 1965 kekerasan pun mencapai puncaknya seruan-seruan perjuangan keagamaan menjadi semakin marak dan bahkan melampui perjuangn keras yang sedang berusaha diciptakan oleh PKI. Kelompok-kelompok islam militant bertanggung jawab atas terjadinya banyak kekereasan di mana organisasi kepemuddaan NU (Nahdatul Ulama), Anshor, menjadi pelopor dalam konflik-konflik tersebut” (Edman, 2005:156). Dalam mempropagandakan gerakan perlindungan atas tanah mereka, para tuan tanah bersama militer dan burjuasi nasional sebagai perang agama dan memberi stereotipe pembuat onar, ateis, tidak setia pada agama dan negara pada petani tak bertanah yang diadvokasi BTI. Stereotipe-steretipe tersebut digunakan untuk memotori pembantaian massal pada kaum kiri, yang oleh tuan tanah digunakan untuk merebut kembali tanah yang diambil secara sepihak oleh petani tak bertanah yang diadvokasi BTI, dan digunakan sebagai stigma oleh orba kepada musuh politiknya. Maka, cap ateis semakin buruk pada zaman orba dan belum berubah banyak hingga kini.
Pada masa orde baru, untuk mendukung proyek mempertahankan kekuasaan dengan menghancurkan orang-orang kiri munculah buku-buku yang menyudutkan ateisme secara terang-terangan karena dianggap “bahaya laten”; bahaya tersembunyi yang siap mengancam setiap waktu. Untuk menanggapinya, muncul buku seperti Bahaja Atheisme terhadap Sila Ketuhanan J.M.E karya Muchammad Iljas (1967) yang tampaknya bahkan tidak mampu membedakan ateisme dan komunsime. Pengaburkan perbedaan komunis dan ateis tampak pada asosiasi yang begitu melekat antara komunsime dengan ateisme dalam pengertian Iljas bahwa ateis merupakan
“hasil penjelidikan jang mendalam setjara ilmiyah (katanja) dan mendjadi dasar-landasan daripada usaha dan perdjuangan kelandjutannja, dalam membentuk dan menjusun masjarakat jang bahagia, tanpa aadanja kelas jang bertentangan dan bermusuhan, sama rata dan sama rasa, dengan bentuknnja sendiri dan susunannja sendiri jang telah direntjanakan. “ (Iljas 1967:4)
Dalam bentuk yang lebih halus, muncul buku-buku filsafat ketuhana yang ditulis orang beragama untuk membantah kaum ateis tanpa adanya buku ateis untuk membantah orang beragama. Muncul buku seperti Aliran-aliran Besar Ateisme karya pastur Louis Leahy yang ditulis untuk “suatu ‘pemandu’ informative dan kritis mengenai problem-problem yang paling relevan dari ateisme kontemporer” (Kanisius, 1985:16) namun menggunakan slogan Pascal bahwa “ateisme, tanda kekuatan dari roh, tetapi hanya sampai batas tertentu” (kanisius, 1985:5) sebagai slogan awal di bagian depan buku. Theodeore Hujiberes menulis Manusia Mencari Makna yang memberi pembenaran keberadaan Tuhan.
Pasca reformasi wacana ateisme mulai mendapat tempat. Walaupun tetap muncul buku-buku yang menyudutkan ateis seperti Menalar Tuhan, buku-buku karya ateis dunia mulai diterjemahkan. Banyak buku pengarang ateis, baik yang lantang menggemborkan ateisme maupun tidak, diterjemahkan, terutama oleh penerbit-penerbit Yogyakarta. Di antaranya adalah Totem dan Tabu Sigmund Freud yang membedah asal-usul agama. Buku-buku Nietzsche yang ateistis telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti Zarathustra, Genealogi Moral, Anti-Christ, dsb. Buku-buku ateis baru yang telah diterjemahkan antara lain Senja Iman karya Sam Harris dan Sungai dari Firdaus karya Richard Dawking. Bahkan buku Rancang Agung yang menyimpulkan bahwa alam raya dapat muncul tanpa sosok adi-alami muncul terjemahannya kurang dari enam bulan sejak buku tersebut muncul dalam bahasa Inggris.
Internet juga member sumbangsih besar pada peningkatan ateis dan penyebaran gagasan ateisme di Indonesia. Gagasan-gagasan ateistis menyebar luas melalui internet yang dikelola oleh komunitas-komunitas ateis di Indonesia. Cobalah buka www.ateispedia.com,http://indonesianatheists.wordpress.com, dan http://ateisindonesia.org. Wahana tersebut juga menjadi tempat berkumpulnya ateis-ateis, yang banyak dari mereka terpaksa mengenakan topeng agama, di dunia nyata. Paling tidak pencarian di www.facebook.com memunculkan Indonesian Atheists (beranggotakan 499 akun FB ), Komunitas Ateis Indonesia[vii] (beranggotakan 1,137 akun FB) dan Angkatan Muda Ateis (132 akun FB), dan Indonesian Atheists Society (beranggotakan 638 akun FB). Sebagian besar ateis di Indonesia adalah kelompok usia muda yang sebagian besar tinggal di kota besar. Tampaknya Jakarta, Surabaya, dan Bandung adalah tiga kota yang memiliki populasi terbanyak di Indonesia. Jakarta Post menulis bahwa kaum agnostik dan ateis di Jakarta “sebagian besar adalah kaum muda yang gemar membaca (well-read)” (Jakarta Post, 19 Desember ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar